Friday, September 28, 2007

Maaf

Juga dimuat di rubrik Sikap, vhrmedia.com.

Trevor, seorang anak berusia 12-an tahun, mendapat tugas merumuskan sebuah ide untuk membuat dunia menjadi tempat lebih baik melalui suatu kegiatan kongkrit dari guru ilmu sosialnya. Semua anak di kelas Trevor kebingungan dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Trevor balik bertanya pada gurunya: “Bapak sendiri melakukan apa untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik?” Si guru, yang wajahnya dipenuhi guratan-guratan bekas luka bakar, tersenyum dan menjawab pasti: “Cukup dengan tidur nyenyak setiap malam sehingga bisa datang ke kelas ini tepat waktu dalam kondisi segar dan mengajar kalian dengan baik. Itu yang saya lakukan.”

Trevor dan murid-murid lain seketika terdiam mendengar jawaban mantap dari guru mereka yang bertampang seram itu. Trevor, anak tunggal seorang ibu pemabuk yang hidup sendiri, tak pernah merasa dunia adalah tempat yang cukup baik untuk ditinggali. Ayah Trevor yang suka memukuli ibunya sudah lama pergi meninggalkan mereka. Bagi Trevor, hidup berdua saja dengan ibunya jauh lebih baik dibanding saat ayahnya masih bersama mereka. Kini, tiba-tiba guru seram itu memintanya memikirkan satu ide yang bisa dilakukannya agar dunia menjadi “lebih baik”. Gila. Mana mungkin seorang bocah umur 12 tahun “mengubah dunia?”. Tapi tugas adalah tugas dan semua murid harus mengerjakannya. Setelah berpikir keras, akhirnya Trevor menemukan satu ide yang “mungkin” bisa dilakukannya.

Ide Trevor sederhana. Intinya adalah berbuat baik, entah itu memaafkan, menolong orang yang kesusahan, mengingatkan orang yang salah, atau apa saja yang bisa dilakukan seorang anak seusianya. Uniknya ide Trevor adalah pada kelanjutan dari perbuatan baik itu. Trevor menggagas agar setiap orang yang berhasil diberi dan menerima perbuatan baiknya, membayar ke depan (pay it forward) dengan melakukan perbuatan baik apa saja pada tiga orang lainnya. Ketentuan ini seterusnya berlaku sama pada orang-orang berikutnya. Semacam konsep multi level marketing tapi diterapkan untuk “menjual” sebuah perbuatan baik. Produknya adalah perbuatan baik. Dan ini sangat relevan dengan kondisi riil dunia yang amburadul sehingga sulit sekali menemukan orang yang mengatakan “dunia ini adalah tempat yang cukup baik untuk ditinggali”.

Apakah perbuatan baik masih bisa memengaruhi dan mengubah dunia? Saya masih memiliki keyakinan seperti Trevor: perbuatan baik harus diperjuangkan, dipelihara, dan ditularkan sebagai virus yang bisa menyebar dengan cepat dan langsung merasuki semua orang tanpa pandang bulu. Dengan cara itu perbuatan baik pasti mampu mengubah dunia. Perbuatan baik yang paling sederhana tapi sekaligus paling mendasar (dan karenanya juga tidak mudah dilakukan) adalah memaafkan. Saat ini, di bulan puasa yang suci, adalah momen paling tepat untuk belajar memaafkan dengan tulus. Memaafkan dengan hati, dari hati, untuk hati yang lain. Bukan memaafkan sekadar ucapan manis di mulut belaka. Sama seperti seorang anak remaja yang selalu bilang maaf pada orang tuanya setiap melakukan kesalahan tapi esoknya kembali melakukan kesalahan yang sama. Atau seorang suami yang tetap saja memukuli istrinya setelah mohon maaf sambil berlinang air mata.

Maaf sebenarnya adalah inti dari harmoni kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang hibrid seperti Indonesia. Maaf adalah syarat utama bagi perdamaian antarkelompok, antaragama, antarsuku, antarkelas, dan juga antarbangsa. Tapi maaf juga harus dilengkapi dengan perbuatan-perbuatan menolong orang, seperti yang dilakukan tokoh Trevor dalam film "Pay It Forward". Sekalipun resiko yang harus dihadapi sangat besar tapi menolong orang atau berbuat baik adalah satu paket dengan perbuatan memaafkan. Artinya, kita tidak akan bisa memaafkan diri kita sendiri jika kita membiarkan kejahatan, kesewenang-wenangan, penindasan, dan kebejatan manusia berlangsung di depan mata kita. Tegasnya, ketika kita berbuat salah kita harus minta maaf pada orang yang dirugikan atau menjadi korban, sekaligus pada diri kita. Dan kita hanya bisa memaafkan diri kita jika mampu tidak lagi mengulang perbuatan yang sama.

Tokoh Trevor di ending film mati ditikam akibat ketegasan sikapnya menolong kawan yang teraniaya, tak peduli apa pun resikonya. Trevor bukan sok jagoan, tapi ia tahu, ia tak bisa mengubah dunia sekaligus tak akan bisa memaafkan dirinya jika membiarkan kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya. Inilah pelajaran terpenting yang harus kita petik saat kita belajar memaafkan sesama setulusnya. Dengan memahami secara benar makna maaf, saya yakin kita tak akan bertikai atas nama agama, kelompok, kelas, suku, ataupun pembeda-pembeda lainnya. Saya percaya semua agama mengajarkan kita untuk saling memaafkan dan menyayangi sesama. Selamat hari raya Idul Fitri 1428, mohon maaf lahir batin. (frg)