Friday, September 28, 2007

Maaf

Juga dimuat di rubrik Sikap, vhrmedia.com.

Trevor, seorang anak berusia 12-an tahun, mendapat tugas merumuskan sebuah ide untuk membuat dunia menjadi tempat lebih baik melalui suatu kegiatan kongkrit dari guru ilmu sosialnya. Semua anak di kelas Trevor kebingungan dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Trevor balik bertanya pada gurunya: “Bapak sendiri melakukan apa untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik?” Si guru, yang wajahnya dipenuhi guratan-guratan bekas luka bakar, tersenyum dan menjawab pasti: “Cukup dengan tidur nyenyak setiap malam sehingga bisa datang ke kelas ini tepat waktu dalam kondisi segar dan mengajar kalian dengan baik. Itu yang saya lakukan.”

Trevor dan murid-murid lain seketika terdiam mendengar jawaban mantap dari guru mereka yang bertampang seram itu. Trevor, anak tunggal seorang ibu pemabuk yang hidup sendiri, tak pernah merasa dunia adalah tempat yang cukup baik untuk ditinggali. Ayah Trevor yang suka memukuli ibunya sudah lama pergi meninggalkan mereka. Bagi Trevor, hidup berdua saja dengan ibunya jauh lebih baik dibanding saat ayahnya masih bersama mereka. Kini, tiba-tiba guru seram itu memintanya memikirkan satu ide yang bisa dilakukannya agar dunia menjadi “lebih baik”. Gila. Mana mungkin seorang bocah umur 12 tahun “mengubah dunia?”. Tapi tugas adalah tugas dan semua murid harus mengerjakannya. Setelah berpikir keras, akhirnya Trevor menemukan satu ide yang “mungkin” bisa dilakukannya.

Ide Trevor sederhana. Intinya adalah berbuat baik, entah itu memaafkan, menolong orang yang kesusahan, mengingatkan orang yang salah, atau apa saja yang bisa dilakukan seorang anak seusianya. Uniknya ide Trevor adalah pada kelanjutan dari perbuatan baik itu. Trevor menggagas agar setiap orang yang berhasil diberi dan menerima perbuatan baiknya, membayar ke depan (pay it forward) dengan melakukan perbuatan baik apa saja pada tiga orang lainnya. Ketentuan ini seterusnya berlaku sama pada orang-orang berikutnya. Semacam konsep multi level marketing tapi diterapkan untuk “menjual” sebuah perbuatan baik. Produknya adalah perbuatan baik. Dan ini sangat relevan dengan kondisi riil dunia yang amburadul sehingga sulit sekali menemukan orang yang mengatakan “dunia ini adalah tempat yang cukup baik untuk ditinggali”.

Apakah perbuatan baik masih bisa memengaruhi dan mengubah dunia? Saya masih memiliki keyakinan seperti Trevor: perbuatan baik harus diperjuangkan, dipelihara, dan ditularkan sebagai virus yang bisa menyebar dengan cepat dan langsung merasuki semua orang tanpa pandang bulu. Dengan cara itu perbuatan baik pasti mampu mengubah dunia. Perbuatan baik yang paling sederhana tapi sekaligus paling mendasar (dan karenanya juga tidak mudah dilakukan) adalah memaafkan. Saat ini, di bulan puasa yang suci, adalah momen paling tepat untuk belajar memaafkan dengan tulus. Memaafkan dengan hati, dari hati, untuk hati yang lain. Bukan memaafkan sekadar ucapan manis di mulut belaka. Sama seperti seorang anak remaja yang selalu bilang maaf pada orang tuanya setiap melakukan kesalahan tapi esoknya kembali melakukan kesalahan yang sama. Atau seorang suami yang tetap saja memukuli istrinya setelah mohon maaf sambil berlinang air mata.

Maaf sebenarnya adalah inti dari harmoni kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang hibrid seperti Indonesia. Maaf adalah syarat utama bagi perdamaian antarkelompok, antaragama, antarsuku, antarkelas, dan juga antarbangsa. Tapi maaf juga harus dilengkapi dengan perbuatan-perbuatan menolong orang, seperti yang dilakukan tokoh Trevor dalam film "Pay It Forward". Sekalipun resiko yang harus dihadapi sangat besar tapi menolong orang atau berbuat baik adalah satu paket dengan perbuatan memaafkan. Artinya, kita tidak akan bisa memaafkan diri kita sendiri jika kita membiarkan kejahatan, kesewenang-wenangan, penindasan, dan kebejatan manusia berlangsung di depan mata kita. Tegasnya, ketika kita berbuat salah kita harus minta maaf pada orang yang dirugikan atau menjadi korban, sekaligus pada diri kita. Dan kita hanya bisa memaafkan diri kita jika mampu tidak lagi mengulang perbuatan yang sama.

Tokoh Trevor di ending film mati ditikam akibat ketegasan sikapnya menolong kawan yang teraniaya, tak peduli apa pun resikonya. Trevor bukan sok jagoan, tapi ia tahu, ia tak bisa mengubah dunia sekaligus tak akan bisa memaafkan dirinya jika membiarkan kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya. Inilah pelajaran terpenting yang harus kita petik saat kita belajar memaafkan sesama setulusnya. Dengan memahami secara benar makna maaf, saya yakin kita tak akan bertikai atas nama agama, kelompok, kelas, suku, ataupun pembeda-pembeda lainnya. Saya percaya semua agama mengajarkan kita untuk saling memaafkan dan menyayangi sesama. Selamat hari raya Idul Fitri 1428, mohon maaf lahir batin. (frg)

Wednesday, September 12, 2007

Segera Terbit!!!

Hitler vs Pink Triangle: Perang Nazi Melawan Sifilis, Homoseks, dan Penghancuran Seksologi

author: FX Rudy Gunawan

publisher: _sp@si & VHRb++k

SEGERA DAPATKAN DI TOKO-TOKO BUKU TERDEKAT!

Jika Hitler Seorang Gay

Dalam film A Love to Hide yang berkisah tentang cinta dan nasib seorang gay di masa Hitler berkuasa, dituturkan betapa nista dan ngerinya menjadi seorang gay di bawah kekuasaan Hitler. Adalah Jean, pemuda tampan, baik, dan pintar, kesayangan keluarga yang ternyata seorang gay atau homoseks. Di masa remajanya, Jean sempat menjalani cinta monyet bersama seorang perempuan Yahudi bernama Sara. Sara sekian lama menghilang karena ditangkap tentara Nazi, tetapi kemudian berhasil meloloskan diri dan menemui Jean dalam keadaan syok dan trauma. Jean yang sudah menjadi seorang gay menampung Sara dan menempatkannya di rumah pasangan homoseksualnya. Jean juga memberikan identitas baru pada Sara sebagai seorang perempuan Perancis bernama Yvonne Brunner dan mempekerjakannya di tempat binatu milik keluarga Jean.

Sara yang masih tetap mencintai Jean sempat syok ketika mengetahui bahwa ternyata Jean sudah berubah menjadi seorang gay. Tapi perlahan ia mulai bisa menerima kenyataan itu dan bahkan tetap mencintai Jean dengan setulus hatinya. Ia bahkan mengangankan Jean bisa kembali normal atau setidaknya menjadi seorang biseksual sehingga mereka bisa hidup bahagia bertiga. Tapi film ini bukan film kisah cinta segitiga yang biasa-biasa saja. Persoalan yang diangkat kemudian bukanlah kisah cinta Jean atau Sara, melainkan tentang apa yang dialaminya Jean ketika akhirnya ditangkap polisi Perancis dan diserahkan pada tentara Nazi. Jean sebagai homoseksual ditempatkan dan dikelompokkan oleh tentara Nazi bersama tahanan lain yang mengenakan simbol Pink Triangle atau segitiga merah jambu di dada mereka.

“Tahanan berlabel Pink Triangle mengalami nasib yang 'lebih buruk dan lebih nista' daripada seekor anjing,” jelas seorang tahanan Pink Triangle pada Jean saat mereka dalam perjalanan menuju sebuah kamp konsentrasi. Pada awalnya Jean tidak mau mempercayai yang dikatakan tahanan itu, tapi kenyataan yang dilihat dan dialaminya memang membuktikan kebenaran penjelasan tahanan itu. Ketika seorang tahanan berlabel Pink Triangle terjatuh di tempat kerja paksa, maka seketika itu, detik itu juga, tentara pengawas langsung menembaknya di kepala. Ada juga tahanan lain yang ditelanjangi dan dibakar hidup-hidup di depan Jean. Semua kekejaman mengerikan itu dilakukan oleh tentara Nazi sambil tertawa-tawa, seolah mereka membunuh seekor anjing yang paling hina.

Jean yang terjebak dalam penyekapan mengerikan karena ulah jahat adiknya sendiri yang mencintai Sara, selalu berusaha melawan dan membela kekejian tentara Nazi dalam menyiksa dan membantai kaum homoseks. Ia tidak dibunuh karena ia orang Perancis, bukan gay warga Jerman atau Yahudi. Istilah yang menjadi alasan penahanannya adalah re-edukasi. Tapi karena keberaniannya membela tahanan Pink Triangle lainnya, Jean akhirnya dibuang ke kamp konsentrasi Dachau yang terkenal sebagai kamp konsentrasi paling keji dan mengerikan. Di Dachau Jean benar-benar disiksa habis-habisan dan dijadikan kelinci percobaan. Ia mengalami penyiksaan secara seksual dan juga berbagai eksperimen mengerikan yang dilakukan tentara-tentara Nazi. Ketika akhirnya Jean dikembalikan ke negaranya, saat kekuasaan Hitler berakhir, ia sudah seperti mayat hidup yang menunggu mati. Sara dan ayah-ibu Jean yang setia menantinya, menerima kedatangan kembali Jean dengan tangis pilu tanpa suara. Hanya beberapa hari bersama orang-orang yang mencintainya, Jean akhirnya meninggal di tengah-tengah mereka.

Dalam salah satu dialog antara Jean dengan adiknya saat rahasia dirinya terbongkar oleh sang adik, Jean berkata: “Apakah kau memilih bermata biru saat dilahirkan? Apakah kau memilih berambut pirang saat dilahirkan? Aku pun tidak memilih untuk mencintai sesama lelaki. Seperti itulah cinta. Kau tidak pernah tahu betapa beratnya menanggung dan merahasiakan cintamu karena masyarakat menistakan cintamu.” Di bagian lain, ketika tentara Hitler menyiksanya, mereka mengutuk dan menyumpahi Jean sebagai aib bagi bangsa dan negaranya. “Kau mempermalukan bangsa dan negaramu, Homo! Kau adalah aib besar bagi bangsamu karena itu kau dikirim kemari!” Lalu tentara-tentara itu menghajar dan menyiksanya lagi. Tapi Jean jelas tak mungkin berubah meski disiksa dan dianiaya sampai mati. Ia memang seorang gay, seorang lelaki yang mencintai lelaki lainnya sama seperti lelaki yang mencintai seorang perempuan. Seperti dikatakan Jean pada adiknya, ia menjadi homoseksual sama seperti seseorang dilahirkan dengan mata biru atau rambut pirang.

Jean menegaskan bahwa kondisi dirinya adalah sesuatu yang berada di luar kekuasaannya. Kondisi itu adalah satu keterbatasan yang diberikan pada dirinya tanpa bisa ditawar, sebagaimana seseorang dilahirkan tanpa bisa memilih kualitas-kualitas tertentu. Di era kekuasaan Hitler, argumen semacam ini jelas tak mungkin diterima oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Yang terjadi justru sebaliknya. Menurut catatan US Memorial Holocaust, pada masa Hitler berkuasa, persisnya sepanjang tahun 1933 sampai 1945, tercatat sedikitnya 100.000 orang homoseksual ditangkap dan disiksa di kamp-kamp konsentrasi. Dari jumlah itu, 10.000 sampai 15.000 meninggal karena penyiksaan dan eksperimen keji yang dilakukan tentara Nazi. Sungguh jumlah yang sangat besar sebagai sebuah pembantaian atau kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Pembantaian terhadap kaum homoseksual dan perang Hitler melawan pelacuran adalah sebuah penghancuran sistematis terhadap sexology dan sekaligus merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat besar.

Entah apa yang merasuki Hitler sampai kebenciannya teramat sangat besar pada kaum homoseks dan praktik-praktik perilaku seksual lainnya yang dianggap tidak bermoral atau menodai bangsa. Hitler memang seorang maniak dan psikopat yang haus darah, tapi ini pun tidak cukup menjelaskan tindakan yang dilakukannya pada kaum homoseksual. Bagaimana Hitler melihat dan mengonsepkan perilaku homoseksual memang tak dapat dilepaskan dari ideologinya yang berbasiskan kebencian dan angkara pada bangsa Yahudi. Jika Hitler pernah sekali saja membayangkan dirinya sebagai seorang gay, mungkin tragedi kemanusiaan yang dialami kaum gay tidak akan dan tidak perlu terjadi. Atau jika Hitler ternyata sebenarnya seorang gay maka apa yang dilakukannya pada kaum gay mungkin merupakan sebuah cerminan kebencian terhadap dirinya sendiri yang tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa dirinya adalah seorang gay. Tentu saja kita tak pernah tahu kebenaran apa yang ada dalam sosok Hitler. Bisa saja ia biseksual atau memang dia heteroseksual fanatik-fundamentalis yang sangat membenci orientasi seks sesama jenis.

Ada begitu banyak kemungkinan yang bersifat personal dan sulit diungkap pada sosok Hitler, karena itulah sosoknya selalu menjadi kontroversi yang terus-menerus hidup dan menarik perhatian masyarakat dunia, bahkan hingga saat ini. Munculnya generasi muda sekarang yang terinspirasi dan mengidolakan Hitler adalah bukti betapa kontroversi, ideologi, dan gerakan Nazi yang dipimpin Hitler ternyata masih menyimpan potensi. Sosok Hitler secara fisik memang unik. Dengan perawakan yang terbilang mungil untuk ukuran orang Jerman, ia mampu mengguncang dunia. Kumis khas dan rambut cepak khas Hitler yang klimis dengan seragam militer kebesarannya sebagai pemimpin besar, juga tetap unik dan mampu menarik perhatian. Dari penampilannya yang cenderung pesolek, sebenarnya tak berlebihan juga bila ada kemungkinan homo atau biseksual pada diri Hitler.

Namun melihat apa yang dilakukannya pada kaum gay di Jerman dan sejumlah negara tetangganya seperti Perancis, maka jika Hitler seorang gay, ia mungkin adalah gay yang sakit hati, frustrasi, broken heart, dan akhirnya mendendam sampai ke tulang sumsum. Mungkin ia dikhianati oleh kekasih gay-nya pada masa muda atau bahkan pada masa ia baru saja mulai berkuasa. Mungkin ia pernah sangat mencintai dan terobsesi pada seorang lelaki yang sama sekali tak mencintainya dan selalu menolak, apa pun usaha yang dilakukannya. Mungkin juga Hitler adalah homo yang tak pernah berani mengakui dan menyatakan ke-homo-annya sehingga ia sangat frustrasi dan kemudian berbalik membenci kaum gay habis-habisan. Ada banyak kemungkinan di balik alasan Hitler membantai dan membasmi kaum gay sedemikian kejinya. Ironisnya, kemungkinan-kemungkinan itu justru lebih kuat jika ternyata Hitler sebenarnya adalah seorang gay.

Mungkinkah hal ini benar? Mungkinkah Hitler sebenarnya seorang homoseksual? Dalam teori kehidupan yang sederhana saja, kemungkinan adalah sebuah keluasan samudera yang dalamnya tak terukur. Ini kata orang-orang bijak di seantero dunia. Dalam film A Love to Hide juga digambarkan bagaimana para perwira tinggi Jerman dalam pasukan Hitler ternyata banyak yang sebenarnya adalah gay atau homoseks. Salah satunya diceritakan naksir Jean dan menjadi backing sebuah pub khusus kaum gay di Perancis. Perwira ini kemudian diceritakan bunuh diri dan memicu tuduhan pada Jean sebagai salah satu penyebabnya. Nasib Jean di kamp konsentrasi pun semakin buruk karena tuduhan itu. Film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi dan dialami kaum gay yang ditangkap tentara Hitler. Ada kebenaran faktual yang mendasari film ini. Bisa saja kebenaran ini memperkuat dugaan terhadap Hitler sebagai gay. Jika tidak memperkuat pun, tetap saja ada kemungkinan--sekecil apa pun--Hitler adalah seorang homoseksual.

Dalam sejumlah referensi dan hasil penelitian yang juga menjadi sumber-sumber utama buku ini, diungkapkan juga hal serupa. Para perwira SS, tentara khusus Nazi yang sangat kejam itu, ternyata banyak di antaranya adalah gay. Di bagian akhir film A Love to Hide, tokoh Sara yang sudah memiliki dua orang cucu, diceritakan berziarah di pemakaman khusus gay korban kekejaman Nazi yang telah dijadikan sebagai monumen khusus untuk memberi pengakuan pada hak-hak kaum gay yang di kamp-kamp konsentrasi pada masa Hitler diberi tanda Pink Triangle. Sara bersama dua orang cucunya meletakkan setangkai bunga untuk jean yang dimakamkan bersama para gay lainnya di pemakaman khusus itu. Sementara di suatu tempat yang entah di mana--mungkin di neraka--Hitler mungkin menyaksikan kaum gay yang berkumpul di situ dengan perasaan menyesal paling dalam yang bisa dimiliki seseorang. Suatu perasaan yang terus menghantui dan menyiksanya, melebihi siksa neraka apa pun.[]

Saturday, August 18, 2007

Tujuh Belasan

catatan rabu pagi 34

dimuat pula di rubrik Sikap (vhrmedia.com)

Jika Anda harus menjawab satu pertanyaan sederhana “apakah makna tujuh belasan bagi Anda?” dengan sejujur-jujurnya, apa jawaban Anda? Tujuh belasan, hari kemerdekaan Indonesia, Independence Day bangsa kita, masihkah menyimpan makna di hati kita? Jangan-jangan, maknanya tak lebih dari sekadar hari libur nasional yang dipenuhi serangkaian lomba di mana-mana. Jangan-jangan maknanya hanya sebuah kewajiban pengibaran bendera sang saka merah putih belaka. Atau upacara bendera di istana negara, sekolah-sekolah dan instansi-instansi pemerintah. Mungkin juga ada yang memaknainya sebagai hari pesta diskon berbagai produk, mulai dari rumah, mobil, berlian, barang-barang elektronik, pakaian, perabot rumah tangga, sampai beras, daging dan sayuran. Ini sah-sah saja karena makna sangat tergantung pada konteks kehidupan si pemberi makna dengan seluruh kompleksitas persoalannya.

Si Ucok yang seorang sopir Metromini jurusan Tanah Abang-Kota, mungkin akan memberi makna tujuh belasan sebagai terbebasnya Jakarta dari kemacetan lalu lintas yang menjadi santapannya setiap hari. Si Joko yang guru honorer di sebuah SD Negeri, barangkali akan memaknai tujuh belasan dengan mengenang Ki Hajar Dewantara sebagai figur pendidik yang dikaguminya. Teh Ninis yang lady escort di sebuah karaoke bisa saja memaknai tujuh belasan dengan tangis kebencian dan sakit hati pada Bapak Pejabat Tinggi yang pernah mencampakkan dirinya setelah 3 bulan dijadikan simpanan oleh Bapak Pejabat itu. Bu Siti yang pemilik Warung Tegal di atas sebuah selokan di Bekasi, memaknai setiap tujuh belasan sebagai hari amal kerupuk untuk lomba makan kerupuk di pemukiman kumuh tempat tinggalnya. Koh A Liong yang pemilik pabrik tahu hanya bisa memaknai tujuh belasan dengan mendoakan saudara-saudaranya yang menjadi korban peristiwa Mei 1998.

Tujuh belasan memang seharusnyalah terus dimaknai secara kontekstual oleh seluruh rakyat Indonesia. Para akademisi, politikus, cendekiawan dan budayawan pun beramai-ramai menulis artikel, esai, bahkan makalah untuk mencari apa makna tujuh belasan setiap tahun. Ada yang mempertanyakan kembali nilai-nilai kebangsaan, ada yang menggugat ketidakadilan dan ketidakmerdekaan rakyat kecil dari kemiskinan, ada juga yang menggugah rasa nasionalisme dan partriotisme generasi muda yang semakin hilang atau memupus. Atau bahkan ada juga yang memaki-maki penuh amarah pada para pejabat korup dan para wakil rakyat yang tidak juga lulus dari TAMAN KANAK KANAK meskipun sudah 5 tahun belajar. Dari berbagai aspek kehidupan, pemaknaan terhadap tujuh belasan, menyimpan banyak sekali pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia.

Satu pemaknaan yang mendasar tentang apa itu “merdeka” juga selalu berubah dan tak pernah bisa tuntas. Dalam perayaan tujuh belasan tahun ini, mungkin saja Simon merdeka secara ekonomi; artinya rejeki cukup melimpah untuk mengepulkan asap dapur dan beli mobil baru atau beli rumah ketiga dengan harga diskon tujuh belasan. Tapi dalam perayaan tujuh belasan tahun ini, Simon ternyata tidak merdeka secara hukum karena duit melimpah yang dibelanjakan itu adalah duit hasil penggelapan pajak sejumlah pengusaha yang menjadi kliennya sebagai seorang petugas pajak. KPK pun kemudian membuat Simon tidak merdeka secara hukum. Simon deg-degan setiap hari dan sama sekali tidak merdeka karenanya.

Di tahun lalu, Parman, seorang aktivis, merasa tidak merdeka karena tidak bisa mengekspresikan pendapat secara bebas tentang praktik-praktik pembalakan hutan, pencemaran lingkungan, dan penggusuran tanah yang terjadi di berbagai wilayah pelosok Indonesia. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi pun sangat dibelenggu oleh berbagai peraturan. Ini membuat Parman merasa semakin tidak merdeka meski ikut aktif merayakan tujuh belasan di rumahnya dan menang lomba balap karung. Dan di tahun ini, Parman merasa semakin tidak merdeka karena secara ekonomi ia juga semakin kehilangan penghasilan. Funding yang mendanai lembaganya tidak mau lagi melanjutkan kontrak untuk program baru yang diajukan Parman. Parman memang tetap ikut merayakan tujuh belasan dan kembali menang lomba balap karung, tapi ia sungguh merasa sangat tidak merdeka.

Makna kemerdekaan memang sangat luas dan sekaligus sangat kontekstual. Setiap tahun kita bisa memaknai tujuh belasan sesuai kondisi-kondisi yang terjadi pada diri kita secara personal maupun kondisi-kondisi yang dialami bangsa kita secara keseluruhan. Tahun ini, saya sendiri hanya memaknai tujuh belasan sebagai kemerdekaan dari belenggu-belenggu keserakahan yang kerap menjebak kita dalam kehidupan yang mematikan. Mungkin karena pemaknaan yang sederhana inilah, saya mendapat undangan dari Istana Negara untuk hadir dalam tujuh belasan tahun ini.

Merdeka! [frg]

Tuesday, July 31, 2007

Sastra dan Gaya Hidup Remaja Perkotaan

catatan rabu pagi 41

Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja perkotaan sekarang.

Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.

Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan.

Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.

Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.

Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan. (frg)

Monday, July 23, 2007

Kompor Mleduk

catatan rabu pagi 40

Pernah dengar lagu “Kompor Mleduk” ciptaan seniman serba bisa, almarhum Benyamin Sueb? Lagu itu sungguh berhasil menangkap persoalan keseharian dengan jeli. Syairnya jenaka dan sangat mengena dengan kehidupan rakyat kecil di Jakarta (dan kota-kota besar lainnya). Dan persoalan kompor ternyata tetap relevan hingga kini, bahkan kembali menjadi topik hangat di warung-warung kopi, warung-warung tegal, warung-warung sunda, dan warung-warung tempat nongkrong rakyat kecil lainnya. Masalahnya adalah kebijakan pemerintah DKI untuk mengganti minyak tanah yang digunakan rakyat kecil dengan gas elpiji.

Ini sebuah persoalan serius karena menyangkut hajat hidup orang banyak di seantero pelosok Jakarta. Minyak tanah dan kompornya menjadi bahan bakar pilihan rakyat kecil karena fleksibilitasnya untuk diakses. Orang bisa membeli hanya setengah liter dan mengepulkan asap dapurnya hanya dengan setengah liter minyak tanah. Sementara gas elpiji, meskipun tabungnya diberikan gratis dan berukuran kecil, tetap saja tidak mungkin dibeli eceran. Orang tak bisa membeli setengah tabung gas saja ketika benar-benar bokek! Akibatnya? Asap dapur tak akan bisa ngebul dan sejumlah perut akan keroncongan. Amat, seorang Betawi penggemar Benyamin Sueb, melontarkan argumen ini dengan berapi-api karena ia tak bisa paham mengapa pemerintah DKI mengambil keputusan penggantian itu.

Kemarahan Amat jelas sufficient reason. Cukup alasan. Kompor minyak tanah baginya adalah pilihan ideal bagi rakyat kecil yang harus berjuang untuk bisa survive di ibukota yang kejam. Bahwa rakyat Indonesia di akar rumput sudah sangat teruji daya tahan atau resistensinya menghadapi kejamnya kemiskinan, bencana banjir, dan segala bentuk deraan derita, ini soal lain. Ini juga jelas tidak bisa menjadi pembenaran untuk semakin mengeksploitasi dan menindas mereka atau melakukan pembiaran terhadap kemiskinan. Minyak tanah mungkin dianggap sebagai simbol kemiskinan, tapi menggantinya dengan gas elpiji tanpa solusi riil untuk peningkatan kesejahteraan mereka adalah konyol.

Kebijakan-kebijakan yang bersifat parsial memang seakan sudah menjadi ciri pemerintah kita. Pendekatan legal-formal untuk mengatasi persoalan di dunia nyata seakan menjadi solusi termudah yang selalu diambil. Padahal jelas, yurisprudensi hanyalah perangkat normatif yang harus dibarengi oleh tindakan-tindakan kongkrit untuk penyelesaian masalah. Belum lagi berbagai kepentingan politik dari segala macam kelompok yang pasti akan ikut bermain untuk menggolkan berbagai rancangan undang-undang sesuai kepentingan mereka. Situasi yang tercipta dari pendekatan semacam ini untuk menyelesaikan berbagai masalah, adalah ibarat kompor yang bisa “mleduk” setiap saat dan mengakibatkan kebakaran besar. Akibatnya pasti kembali pada rakyat kecil.

Mungkin tanpa sadar kita sudah mengamini asumsi “rakyat selalu menjadi korban” sebagai kebenaran. Sungguh menyedihkan. Asumsi ini jelas salah karena tak seorang pun, terutama yang tak bersalah, pantas menjadi korban. Apalagi dikorbankan! Sejarah sudah membuktikan dan mengajarkan banyak hal tentang rakyat yang seharusnya mendapatkan semua hak-haknya yang paling asasi, tapi mengapa sepertinya otak kita begitu bebal? Mengapa “mengorbankan rakyat” terus saja menjadi cerita dan berita dalam kehidupan kita sejak Orde Baru sampai Orde Pasca Reformasi kini? Anda punya jawaban jitu untuk pertanyaan-pertanyaan di atas? Kalau punya, cobalah masak sampai matang di atas kompor minyak tanah agar benar-benar beraroma rakyat kecil. Agar satu kompor minyak tanah terselamatkan dan satu keluarga miskin di Jakarta bisa melanjutkan hidup, setidaknya satu hari lagi. (frg)

Sunday, June 24, 2007

Kebebasan

Rubrik Sikap, VHR News Center, 3 Mei 2007

Mei adalah bulan penuh perayaan. Kita memperingati Hari Buruh Sedunia 1 Mei, 2 Mei peringatan Hari Pendidikan Nasional, 3 Mei memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, 8 Mei ada peringatan Hari Palang Merah Internasional, lalu 20 Mei kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Bila dikaji lebih dalam, semua hari besar nan penting yang kita peringati di bulan Mei terkait dengan satu tema besar perjuangan hidup manusia, yakni "kebebasan".

Buruh berjuang sepanjang sejarah untuk mendapatkan hak-hak dasar yang melekat pada diri mereka sebagai pekerja. Tujuannya jelas, membebaskan diri dari penindasan para pemilik modal, membebaskan diri dari kemiskinan, dan membebaskan diri dari belenggu perbudakan modern. Perjuangan buruh adalah perjuangan untuk kebebasan diri sebagai manusia seutuhnya dengan harkat dan martabat yang sama serta kesejahteraan yang layak.

Hari Pendidikan Nasional juga merupakan monumen peringatan untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Melalui pendidikan, manusia diberdayakan untuk memaksimalkan seluruh potensi diri agar menjadi manusia yang berguna dan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakatnya. Dengan potensinya yang maksimal, setiap orang akan mempunyai kebebasan untuk memilih bidang-bidang pekerjaan atau profesi yang sesuai dengan dirinya. Pendidikan yang baik dan bermutu adalah sarana untuk mencapai kebebasan memilih. Pendidikan juga merupakan hak dasar yang harus dijamin pemerintah bagi seluruh rakyat.

Hak lain yang juga seharusnya dijamin oleh pemerintah adalah kebebasan untuk memperoleh informasi yang sekaligus terkait dengan kebebasan pers sebagai sumber utama berbagai informasi. Hari Kebebasan Pers Sedunia yang dirayakan setiap 3 Mei adalah upaya untuk terus memperjuangkan kebebasan pers di seantero jagat raya. Tujuan perayaan Hari Kebebasan Pers yang dicanangkan PBB sejak 1993 ini adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers bagi masyarakat dan negara, serta untuk mengingatkan pemerintah (negara mana pun) akan tugas mereka untuk menghormati dan menjaga kebebasan pers. Kebebasan pers adalah bagian dari kebebasan untuk berekspresi yang merupakan hak asasi manusia dan tercantum dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights.

Kebebasan pers di Indonesia saat ini, harus diakui, telah mengalami banyak kemajuan terbilang sejak runtuhnya rezim Soeharto. Kasus terbaru yang menyangkut kebebasan pers adalah kasus majalah Play Boy Indonesia, dan kasus ini pun dimenangi pihak Play Boy. Suatu pencapaian yang sungguh menggembirakan dan membuktikan adanya kemajuan dalam kebebasan pers di Indonesia. Front Pembela Islam (FPI) sebagai pihak penggugat mungkin tak akan menerima kekalahan mereka begitu saja. Namun itu soal lain, yang takkan mengubah kenyataan kebebasan pers di Indonesia telah melangkah maju ke tahap yang lebih baik. Dan bahwa kebebasan pers tak bisa dikekang oleh kelompok masyarakat tertentu, baik yang mengatasnamakan agama maupun kelompok masyarakat lainnya.

Ukuran kebebasan pers berbeda-beda di setiap negara, karena disesuaikan dengan konteks nilai-nilai lokal yang berlaku. Play Boy Indonesia jelas berbeda dari versi Amerika. Jadi, wajar bila pengadilan pun memenangkan Play Boy. Lain halnya bila versi Indonesia sama persis dengan Play Boy Amerika, sangat mungkin pengadilan tidak akan memenangkan majalah itu. Dan, pada dasarnya, mempertentangkan nilai-nilai satu agama dengan hak asasi, dalam hal ini hak kebebasan pers, adalah sesuatu yang tak bisa dilakukan secara naif atau harfiah.

Kebebasan pers adalah salah satu tonggak demokrasi. Dan, demokrasi berarti juga pluralisme, sebagaimana kenyataan adanya perbedaan warna kulit, perbedaan suku, perbedaaan agama, perbedaan ideologi, dan perbedaan-perbedaan lain yang terhampar di depan mata kita. Semua mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Bila ada kelompok mencoba menindas, meniadakan, mendominasi, memonopoli, menjajah, atau menguasai kelompok lain, itu adalah pelanggaran hak asasi. Sesederhana itulah duduk perkaranya. Sebab, setiap orang pada hakikatnya memiliki kebebasan yang sama. Selamat merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia. (*)

Face Off

Rubrik Sikap, VHR News Center, 10 Mei 2007

Nicholas Cage dan John Travolta dalam film Face Off garapan John Woo berperan sebagai gembong penjahat dan polisi yang sama-sama tangguh. Dalam satu duel maut, keduanya sama-sama terkapar dan dirawat di rumah sakit yang sama. Castor Troy, sang gembong penjahat, berhasil memaksa dokter untuk menukar wajahnya dengan wajah Sean Archer, sang polisi tangguh. Troy lolos dari maut dan disambut oleh rekan-rekan Archer sebagai Archer, sang polisi. Ia kini menjadi seorang penjahat berwajah polisi. Adapun Archer asli yang berwajah Troy akhirnya juga tersadar dan shock mendapati dirinya sebagai Troy. Sebagai musuh bebuyutan, keduanya mengenal dengan baik seluk-beluk kehidupan masing-masing. Tentu saja sangat mengerikan bagi seorang polisi bersih seperti Archer ketika menyadari dirinya berwajah penjahat.

Ide cerita film ini sangat realistis dan sederhana, tapi sekaligus jenial. Dalam kehidupan nyata, polisi kotor (dirty cop) ada di mana-mana. Mereka tak ubahnya penjahat meski berwajah penegak hukum dan pelindung masyarakat. Mereka melakukan pemerasan, penipuan, perampokan, dan bahkan mungkin juga pembunuhan. Sebaliknya, polisi berwajah penjahat boleh dibilang hampir tidak ada dalam kehidupan nyata, kecuali dalam tugas-tugas undercover atau penyamaran yang mengharuskan seorang polisi masuk ke dunia para penjahat dengan berpura-pura menjadi bagian dari mereka. Penegak hukum atau pelindung masyarakat berwajah penjahat mungkin hanya tinggal dongeng masa lalu seperti Robin Hood atau The Seven Samurai. Tapi mereka pun bukan polisi. Mereka hanya warga sipil yang berjuang untuk menegakkan keadilan dan melindungi masyarakat miskin secara langsung, berani, dan frontal.

Secara akal sehat, takkan ada seorang polisi idealis dan tangguh seperti Sean Archer dalam Face Off yang mau berwajah penjahat. Setiap polisi baik pasti akan berupaya keras membangun citra polisi baik yang ramah, siap melayani, tulus, dekat dengan masyarakat, dan selalu siap memberantas kejahatan apa pun. Pencitraan ini sangat penting untuk diperjuangkan oleh setiap polisi baik untuk melawan pencemaran dan pencorengan citra polisi oleh polisi-polisi jahat atau dirty cop seperti Castor Troy yang berwajah Sean Archer. Pencitraan menjadi sangat penting karena dari pencitraanlah kemudian seluruh aspek kehidupan seseorang atau sebuah lembaga, termasuk lembaga seperti Voice of Human Rights, ditentukan. Pencitraan yang salah akan menciptakan persepsi dan image yang melenceng dari substansi seseorang atau sebuah lembaga. Karena itulah membangun image kemudian menjadi persoalan besar bagi pencapaian tujuan atau idealisme apa pun. Image yang salah akan menimbulkan persoalan dan dampak yang juga substansial.

Image atau citra hak asasi manusia di Indonesia, celakanya juga telah terbentuk (dan dibentuk) secara "agak" keliru. Apa yang muncul secara spontan di benak masyarakat awam saat mendengar kata hak asasi atau human rights, umumnya adalah sebuah ketegangan antara pemerintah dan rakyat: entah berupa unjuk rasa di Istana Negara; bentrokan tentara dengan rakyat di daerah konflik seperti Poso, Ambon, Aceh, atau Papua; penggusuran lapak-lapak kaki lima di pasar tradisional; penculikan para aktivis; penderitaan petani atau buruh akibat kesewenang-wenangan para pejabat; dan peristiwa semacamnya. Secara parsial, image semacam itu tentu juga memiliki kebenaran, karena persoalan hak asasi memang selalu melibatkan hubungan negara sebagai duty bearer dan rakyat sebagai claim holder. Tapi hubungan ini hanya salah satu bagian dari "wajah" hak asasi, dan bisa menimbulkan masalah serius bila kemudian dianggap sebagai keseluruhan "wajah" hak asasi.

Untuk mencegah dampak lebih serius kesalahkaprahan persepsi dari image yang keliru itu perlu dilakukan upaya-upaya serius membangun image yang lebih tepat dan benar. Pertama, tentu kita harus kembali pada dimensi-dimensi elementer yang tidak dipahami masyarakat awam karena kesalahkaprahan yang terjadi. Dimensi elementer dari hak asasi manusia yang tidak muncul dalam pencitraannya di Indonesia, antara lain dimensi hak asasi dalam kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya melekat pada hampir semua aspek kehidupan setiap orang. Sebut misalnya soal toleransi. Sikap toleran adalah perwujudan dari penghargaan pada perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Artinya, toleransi adalah penerapan langsung hak asasi dalam kehidupan sehari-hari.

Penerapan langsung lainnya yang juga melekat pada kehidupan sehari-hari adalah solidaritas. Seorang wartawan, Bambang Putranto, melihat indikasi penurunan solidaritas dalam bencana banjir tahun 2007 dibandingkan misalnya dengan solidaritas dalam bencana banjir tahun 2002. Penurunan solidaritas ini berbahaya dan perlu dicegah, karena akan memunculkan sikap tidak peduli yang parah. Penurunan solidaritas juga merupakan indikasi serius dari penghargaan pada hak asasi manusia, karena solidaritas adalah bukti pemahaman dan pewujudan hak asasi. Selain toleransi dan solidaritas yang menjadi dimensi elementer hak asasi manusia, kita juga bisa menambahkan sikap antidiskriminasi, sikap antikekerasan, cinta damai, cinta lingkungan, dan kebersamaan atau persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi inilah yang seharusnya menjadi bagian penting dari citra hak asasi manusia.

Dengan citra yang tepat dan benar, kepedulian masyarakat pada persoalan-persoalan hak asasi manusia akan lebih mudah dibangun dan ditingkatkan terus-menerus. Dalam konteks inilah lembaga seperti VHR dan lembaga-lembaga seperjuangan lainnya perlu berjuang untuk mengubah pencitraan yang "agak" keliru selama ini. VHR akan memulai perjuangan ini dengan mengubah dan membenahi diri dalam waktu dekat, baik konsep konten maupun tampilan. Nantikan "wajah" baru VHR, dan mari bersama-sama menegakkan hak asasi dalam kehidupan sehari-hari kita. (*)

Sunday, August 28, 2005

"Seperti ombak yang selalu kembali ke pantai yang sama..."

Demikian kalimat FX Rudy Gunawan dalam novelnya Mata yang Malas. Membaca habis tulisan Rudy ini, serta merta ingatan saya melayang pada The Plague (1947) Albert Camus. Tema yang coba diangkat menunjukkan kesamaan. Yakni, kebebasan dan tanggung jawab manusia sebagai individu. Bagaimana sebagai individu setiap kita, manusia, bisa teralienasi dari masyarakatnya serta sulitnya menghadapi hidup tanpa mau tidak mau harus percaya dengan keberadaan Tuhan atau secara absolut tunduk pada standar moral yang berlaku.
Novel karya Rudy Gunawan, memang bukanlah sebuah karya yang bisa dibaca sambil lalu. Melainkan, membutuhkan kemauan bagi pembacanya untuk melakukan perenungan atau setidaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah memang betul segala sikap dan tingkah laku kita atas persoalan yang ada di hadapan kita. Mata yang Malas adalah sebuah metafora tentang keadaan atau kondisi tatanan masyarakat kita saat ini. Sebuah tawaran berpikir bagi kita semua, tentu saja dengan teropong eksistensialisme yang kental terasa sejak awal penuturan Rudy Gunawan.
Teropong ini berangkat dari pandangan yang percaya bahwa pilihan manusia itu subyektivitas sifatnya. Karena, pada akhirnya setiap manusia itu harus membuat pilihan yang individual sifatnya terlepas dari bantuan patokan-patokan baku seperti hukum atau tatanan etika. Dan, oleh karena individu membuat pilihannya sendiri, maka mereka bebas. Sebab mereka telah melakukan pilihan secara bebas, maka mereka juga harus bertanggung jawab penuh atas pilihannya itu. Itu sebabnya, Yoe menjadi intel sekalipun bersahabat dengan Aku yang berperan sebagai penutur dan tokoh protagonis novel ini. Pilihan atas peran atau pekerjaan menggiring mereka pada kenyataan bahwa pada akhirnya mereka juga harus melakukan pilihan. Dan, pilihan itu berkait erat dengan konsekuensi yang tersandang pada awal pilihan itu diambil. Serupa dengan Yoe dan Aku, Ketua TKWMM juga harus menerima konsekuensi atau tanggung jawab dari pilihan sikapnya, terlepas apakah itu kemudian akan memuaskan atau justru merugikan dirinya. melalui Mata yang Malas, Rudy Gunawan mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan itu ternyata tidak ada sebuah standar yang obyektif atau pakem yang dapat benar-benar dipegang oleh manusia guna memperoleh jawaban atas persoalan yang muncul. Namun, sebagaimana yang dipahami oleh kaum eksistensialis, sebagai manusia maka kita harus memutuskan pakem mana yang dapat kita terima dan mana yang tolak, persis sama seperti tokoh Aku "....Hanya sisa-sisa darah kering yang melekat di sebagian wajah Btari saja yang masih dimengerti oleh otakku sebagai kepedihan yuang menikam dan menghujam ulu hatiku, sebelum semuanya menjadi gelap."
Mata yang Malas, sebuah novel jenis tersendiri yang berhasil membuat kita tercengang sendiri dengan pilihan-pilihan subyektif kita. Karena, novel ini telah mengundang kita untuk membaca sekaligus menilai harkat kemanusiaan kita yang paling inti. Kata hati kita. (Sita Aripurnami, Mata yang Malas)