Sunday, June 24, 2007

Face Off

Rubrik Sikap, VHR News Center, 10 Mei 2007

Nicholas Cage dan John Travolta dalam film Face Off garapan John Woo berperan sebagai gembong penjahat dan polisi yang sama-sama tangguh. Dalam satu duel maut, keduanya sama-sama terkapar dan dirawat di rumah sakit yang sama. Castor Troy, sang gembong penjahat, berhasil memaksa dokter untuk menukar wajahnya dengan wajah Sean Archer, sang polisi tangguh. Troy lolos dari maut dan disambut oleh rekan-rekan Archer sebagai Archer, sang polisi. Ia kini menjadi seorang penjahat berwajah polisi. Adapun Archer asli yang berwajah Troy akhirnya juga tersadar dan shock mendapati dirinya sebagai Troy. Sebagai musuh bebuyutan, keduanya mengenal dengan baik seluk-beluk kehidupan masing-masing. Tentu saja sangat mengerikan bagi seorang polisi bersih seperti Archer ketika menyadari dirinya berwajah penjahat.

Ide cerita film ini sangat realistis dan sederhana, tapi sekaligus jenial. Dalam kehidupan nyata, polisi kotor (dirty cop) ada di mana-mana. Mereka tak ubahnya penjahat meski berwajah penegak hukum dan pelindung masyarakat. Mereka melakukan pemerasan, penipuan, perampokan, dan bahkan mungkin juga pembunuhan. Sebaliknya, polisi berwajah penjahat boleh dibilang hampir tidak ada dalam kehidupan nyata, kecuali dalam tugas-tugas undercover atau penyamaran yang mengharuskan seorang polisi masuk ke dunia para penjahat dengan berpura-pura menjadi bagian dari mereka. Penegak hukum atau pelindung masyarakat berwajah penjahat mungkin hanya tinggal dongeng masa lalu seperti Robin Hood atau The Seven Samurai. Tapi mereka pun bukan polisi. Mereka hanya warga sipil yang berjuang untuk menegakkan keadilan dan melindungi masyarakat miskin secara langsung, berani, dan frontal.

Secara akal sehat, takkan ada seorang polisi idealis dan tangguh seperti Sean Archer dalam Face Off yang mau berwajah penjahat. Setiap polisi baik pasti akan berupaya keras membangun citra polisi baik yang ramah, siap melayani, tulus, dekat dengan masyarakat, dan selalu siap memberantas kejahatan apa pun. Pencitraan ini sangat penting untuk diperjuangkan oleh setiap polisi baik untuk melawan pencemaran dan pencorengan citra polisi oleh polisi-polisi jahat atau dirty cop seperti Castor Troy yang berwajah Sean Archer. Pencitraan menjadi sangat penting karena dari pencitraanlah kemudian seluruh aspek kehidupan seseorang atau sebuah lembaga, termasuk lembaga seperti Voice of Human Rights, ditentukan. Pencitraan yang salah akan menciptakan persepsi dan image yang melenceng dari substansi seseorang atau sebuah lembaga. Karena itulah membangun image kemudian menjadi persoalan besar bagi pencapaian tujuan atau idealisme apa pun. Image yang salah akan menimbulkan persoalan dan dampak yang juga substansial.

Image atau citra hak asasi manusia di Indonesia, celakanya juga telah terbentuk (dan dibentuk) secara "agak" keliru. Apa yang muncul secara spontan di benak masyarakat awam saat mendengar kata hak asasi atau human rights, umumnya adalah sebuah ketegangan antara pemerintah dan rakyat: entah berupa unjuk rasa di Istana Negara; bentrokan tentara dengan rakyat di daerah konflik seperti Poso, Ambon, Aceh, atau Papua; penggusuran lapak-lapak kaki lima di pasar tradisional; penculikan para aktivis; penderitaan petani atau buruh akibat kesewenang-wenangan para pejabat; dan peristiwa semacamnya. Secara parsial, image semacam itu tentu juga memiliki kebenaran, karena persoalan hak asasi memang selalu melibatkan hubungan negara sebagai duty bearer dan rakyat sebagai claim holder. Tapi hubungan ini hanya salah satu bagian dari "wajah" hak asasi, dan bisa menimbulkan masalah serius bila kemudian dianggap sebagai keseluruhan "wajah" hak asasi.

Untuk mencegah dampak lebih serius kesalahkaprahan persepsi dari image yang keliru itu perlu dilakukan upaya-upaya serius membangun image yang lebih tepat dan benar. Pertama, tentu kita harus kembali pada dimensi-dimensi elementer yang tidak dipahami masyarakat awam karena kesalahkaprahan yang terjadi. Dimensi elementer dari hak asasi manusia yang tidak muncul dalam pencitraannya di Indonesia, antara lain dimensi hak asasi dalam kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya melekat pada hampir semua aspek kehidupan setiap orang. Sebut misalnya soal toleransi. Sikap toleran adalah perwujudan dari penghargaan pada perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Artinya, toleransi adalah penerapan langsung hak asasi dalam kehidupan sehari-hari.

Penerapan langsung lainnya yang juga melekat pada kehidupan sehari-hari adalah solidaritas. Seorang wartawan, Bambang Putranto, melihat indikasi penurunan solidaritas dalam bencana banjir tahun 2007 dibandingkan misalnya dengan solidaritas dalam bencana banjir tahun 2002. Penurunan solidaritas ini berbahaya dan perlu dicegah, karena akan memunculkan sikap tidak peduli yang parah. Penurunan solidaritas juga merupakan indikasi serius dari penghargaan pada hak asasi manusia, karena solidaritas adalah bukti pemahaman dan pewujudan hak asasi. Selain toleransi dan solidaritas yang menjadi dimensi elementer hak asasi manusia, kita juga bisa menambahkan sikap antidiskriminasi, sikap antikekerasan, cinta damai, cinta lingkungan, dan kebersamaan atau persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi inilah yang seharusnya menjadi bagian penting dari citra hak asasi manusia.

Dengan citra yang tepat dan benar, kepedulian masyarakat pada persoalan-persoalan hak asasi manusia akan lebih mudah dibangun dan ditingkatkan terus-menerus. Dalam konteks inilah lembaga seperti VHR dan lembaga-lembaga seperjuangan lainnya perlu berjuang untuk mengubah pencitraan yang "agak" keliru selama ini. VHR akan memulai perjuangan ini dengan mengubah dan membenahi diri dalam waktu dekat, baik konsep konten maupun tampilan. Nantikan "wajah" baru VHR, dan mari bersama-sama menegakkan hak asasi dalam kehidupan sehari-hari kita. (*)