Sunday, August 28, 2005

"Seperti ombak yang selalu kembali ke pantai yang sama..."

Demikian kalimat FX Rudy Gunawan dalam novelnya Mata yang Malas. Membaca habis tulisan Rudy ini, serta merta ingatan saya melayang pada The Plague (1947) Albert Camus. Tema yang coba diangkat menunjukkan kesamaan. Yakni, kebebasan dan tanggung jawab manusia sebagai individu. Bagaimana sebagai individu setiap kita, manusia, bisa teralienasi dari masyarakatnya serta sulitnya menghadapi hidup tanpa mau tidak mau harus percaya dengan keberadaan Tuhan atau secara absolut tunduk pada standar moral yang berlaku.
Novel karya Rudy Gunawan, memang bukanlah sebuah karya yang bisa dibaca sambil lalu. Melainkan, membutuhkan kemauan bagi pembacanya untuk melakukan perenungan atau setidaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah memang betul segala sikap dan tingkah laku kita atas persoalan yang ada di hadapan kita. Mata yang Malas adalah sebuah metafora tentang keadaan atau kondisi tatanan masyarakat kita saat ini. Sebuah tawaran berpikir bagi kita semua, tentu saja dengan teropong eksistensialisme yang kental terasa sejak awal penuturan Rudy Gunawan.
Teropong ini berangkat dari pandangan yang percaya bahwa pilihan manusia itu subyektivitas sifatnya. Karena, pada akhirnya setiap manusia itu harus membuat pilihan yang individual sifatnya terlepas dari bantuan patokan-patokan baku seperti hukum atau tatanan etika. Dan, oleh karena individu membuat pilihannya sendiri, maka mereka bebas. Sebab mereka telah melakukan pilihan secara bebas, maka mereka juga harus bertanggung jawab penuh atas pilihannya itu. Itu sebabnya, Yoe menjadi intel sekalipun bersahabat dengan Aku yang berperan sebagai penutur dan tokoh protagonis novel ini. Pilihan atas peran atau pekerjaan menggiring mereka pada kenyataan bahwa pada akhirnya mereka juga harus melakukan pilihan. Dan, pilihan itu berkait erat dengan konsekuensi yang tersandang pada awal pilihan itu diambil. Serupa dengan Yoe dan Aku, Ketua TKWMM juga harus menerima konsekuensi atau tanggung jawab dari pilihan sikapnya, terlepas apakah itu kemudian akan memuaskan atau justru merugikan dirinya. melalui Mata yang Malas, Rudy Gunawan mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan itu ternyata tidak ada sebuah standar yang obyektif atau pakem yang dapat benar-benar dipegang oleh manusia guna memperoleh jawaban atas persoalan yang muncul. Namun, sebagaimana yang dipahami oleh kaum eksistensialis, sebagai manusia maka kita harus memutuskan pakem mana yang dapat kita terima dan mana yang tolak, persis sama seperti tokoh Aku "....Hanya sisa-sisa darah kering yang melekat di sebagian wajah Btari saja yang masih dimengerti oleh otakku sebagai kepedihan yuang menikam dan menghujam ulu hatiku, sebelum semuanya menjadi gelap."
Mata yang Malas, sebuah novel jenis tersendiri yang berhasil membuat kita tercengang sendiri dengan pilihan-pilihan subyektif kita. Karena, novel ini telah mengundang kita untuk membaca sekaligus menilai harkat kemanusiaan kita yang paling inti. Kata hati kita. (Sita Aripurnami, Mata yang Malas)