Sunday, August 28, 2005

"Seperti ombak yang selalu kembali ke pantai yang sama..."

Demikian kalimat FX Rudy Gunawan dalam novelnya Mata yang Malas. Membaca habis tulisan Rudy ini, serta merta ingatan saya melayang pada The Plague (1947) Albert Camus. Tema yang coba diangkat menunjukkan kesamaan. Yakni, kebebasan dan tanggung jawab manusia sebagai individu. Bagaimana sebagai individu setiap kita, manusia, bisa teralienasi dari masyarakatnya serta sulitnya menghadapi hidup tanpa mau tidak mau harus percaya dengan keberadaan Tuhan atau secara absolut tunduk pada standar moral yang berlaku.
Novel karya Rudy Gunawan, memang bukanlah sebuah karya yang bisa dibaca sambil lalu. Melainkan, membutuhkan kemauan bagi pembacanya untuk melakukan perenungan atau setidaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah memang betul segala sikap dan tingkah laku kita atas persoalan yang ada di hadapan kita. Mata yang Malas adalah sebuah metafora tentang keadaan atau kondisi tatanan masyarakat kita saat ini. Sebuah tawaran berpikir bagi kita semua, tentu saja dengan teropong eksistensialisme yang kental terasa sejak awal penuturan Rudy Gunawan.
Teropong ini berangkat dari pandangan yang percaya bahwa pilihan manusia itu subyektivitas sifatnya. Karena, pada akhirnya setiap manusia itu harus membuat pilihan yang individual sifatnya terlepas dari bantuan patokan-patokan baku seperti hukum atau tatanan etika. Dan, oleh karena individu membuat pilihannya sendiri, maka mereka bebas. Sebab mereka telah melakukan pilihan secara bebas, maka mereka juga harus bertanggung jawab penuh atas pilihannya itu. Itu sebabnya, Yoe menjadi intel sekalipun bersahabat dengan Aku yang berperan sebagai penutur dan tokoh protagonis novel ini. Pilihan atas peran atau pekerjaan menggiring mereka pada kenyataan bahwa pada akhirnya mereka juga harus melakukan pilihan. Dan, pilihan itu berkait erat dengan konsekuensi yang tersandang pada awal pilihan itu diambil. Serupa dengan Yoe dan Aku, Ketua TKWMM juga harus menerima konsekuensi atau tanggung jawab dari pilihan sikapnya, terlepas apakah itu kemudian akan memuaskan atau justru merugikan dirinya. melalui Mata yang Malas, Rudy Gunawan mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan itu ternyata tidak ada sebuah standar yang obyektif atau pakem yang dapat benar-benar dipegang oleh manusia guna memperoleh jawaban atas persoalan yang muncul. Namun, sebagaimana yang dipahami oleh kaum eksistensialis, sebagai manusia maka kita harus memutuskan pakem mana yang dapat kita terima dan mana yang tolak, persis sama seperti tokoh Aku "....Hanya sisa-sisa darah kering yang melekat di sebagian wajah Btari saja yang masih dimengerti oleh otakku sebagai kepedihan yuang menikam dan menghujam ulu hatiku, sebelum semuanya menjadi gelap."
Mata yang Malas, sebuah novel jenis tersendiri yang berhasil membuat kita tercengang sendiri dengan pilihan-pilihan subyektif kita. Karena, novel ini telah mengundang kita untuk membaca sekaligus menilai harkat kemanusiaan kita yang paling inti. Kata hati kita. (Sita Aripurnami, Mata yang Malas)

Friday, August 26, 2005

Haloscan commenting and trackback have been added to this blog.

"BANGSAL 13" DIBUAT VERSI NOVEL
02 Februari 2005, Jakarta-RRI-Online

Kembali sebuah film nasional dibuat dalam bentuk novel. Kisah film produksi Rexinema, Bangsal 13, kini sudah bisa dibaca dalam sebuah novel yang ditulis oleh F.X. Rudy Gunawan.
Nama Rudy sendiri memang sudah tak asing lagi mengadaptasi skrip film ke dalam bentuk novel. Sebelumnya Rudy menovelkan film Tusuk Jelangkung yang juga diproduksi Rexinema.
Ada sedikit yang berbeda dengan filmnya, dalam novel Bangsal 13 ini, Rudy banyak memberikan sentuhan lain. Dia lebih memadatkan isinya dengan memberikan banyak penjelasan mengenai latar belakang para tokoh utamanya, yaitu Nat (Edhita) dan Mina (Luna Maya).
"Memang, dalam novel ini penokohan mereka memang lebih jelas. Siapa Nat dan siapa Mina lebih panjang lebar dibeberkan. Siapa itu Suster Frida juga bisa diketahui lebih lanjut. Tetapi korban tabrakan yang bernama Fitri itu tetap tidak diekspos," tutur Rudy.
Bukan hanya itu, Rudy juga mengekspos soal pamali (red-pantangan) yang diangkat dalam filmnya sendiri. Jika film Bangsal 13 mengetengahkan tentang pamali mengetuk pintu dari dalam, maka dalam novelnya, Rudy memberikan banyak contoh lain.
Novel Bangsal 13 ini diterbitkan dalam jumlah 7000 eksemplar dan dijual dengan harga 25 ribu rupiah per eksemplarnya. Kini novel tersebut sudah beredar di pasaran.

Menengok Novel [k-o-m-a] - sebuah pengantar
Budi Darma

Novel ini bertajuk Koma. Lalu, siapa yang koma? Tentu saja Kodrat. Mengapa? Karena Kodrat adalah tokoh sentral. Sentral dalam hal apa? Pertanyaan inilah yang menyebabkan novel ini di satu pihak mudah diikuti, namun di lain pihak tidak mudah diikuti.

Mengapa mudah diikuti? Karena sandaran utama novel ini adalah plot. Dan plot, kendati berbeda dengan cerita, pada hakikatnya bisa juga bermakna serangkaian cerita.

Cerita, sementara itu, adalah sebuah peristiwa diikuti oleh peristiwa lain, dan peristiwa lain ini diikuti oleh peristiwa lainnya lagi, dan demikianlah seterusnya. Cerita, dengan demikian, adalah rangkaian peristiwa. Plot berbeda. Plot harus diikat oleh hukum sebab-akibat, dan karena itu, rangkaian cerita bukan sekedar peristiwa ini diikuti oleh peristiwa itu kemudian diikuti oleh peristiwa lainnya pula, namun suatu peristiwa dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa lain.

Kalau kita ingin tahu apa plot itu, renungkan saja kembali konsep E.M. Forster dalam Aspects of the Novel. Contoh plot, misalnya, raja sakit, permasuri sedih, tabib diundang, tabib tidak sanggup menyembuhkan raja, raja wafat, permaisuri sedih, permaisuri sakit, permaisuri ikut wafat. Karena raja sakit, maka permaisuri sedih. Agar raja sembuh, permaisuri mengundang tabib. Ternyata tabib tidak sanggup menyembuhkan raja. Dan karena raja tidak dapat disembuhkan, maka wafatlah raja. Sebagai akibatnya, permaisuri bertambah sedih. Karena sedihnya, maka permaisuri pun wafat, mengikuti raja.

Memang benar novel ini diberi fondasi plot, namun karena fondasi ini disamarkan, yang nampak bukan plot namun cerita dengan rangkaian sebab-akibat yang abstrak. Setidaknya pada bagian-bagian awal novel ini. Karena abstrak maka novel ini, setidaknya, pada bagian awal, terasa sukar dipahami.

Dalam novel abstrak, tentu saja segala sesuatu dapat dimasukkan, termasuk berbagai jenis tokoh. Kata orang, tokoh yang baik memenuhi berbagai kriteria, misalnya, punya motivasi kuat, konsisten, dan life-like atau credible. Kalau seseorang bermotivasi kuat, dengan sendirinya dia tidak mau terbawa oleh arus, kecuali kalau orang itu mempunyia prinsip untuk terbawa oleh arus. Apa pun yang terjadi, dia ikut. Seseorang dapat dianggap konsisten, manakala pendiriannya tidak berubah-ubah, kendati kadang-kadang nampak berubah-ubah bukan karena prinsipnya, namun karena strategi dan taktiknya untuk mempertahankan konsistensinya. Seseorang yang bertabiat bagaikan bunglon, dengan demikian, bisa saja konsisten. Life-like bermakna, dalam kehidupan sehari-hari mungkin saja kita dapat menjumpai seseorang yang mirip dengan tokoh dalam novel. Credible berarti, tokoh tersebut dapat dipercaya, tidak terasa dibikin-bikin, dan karena itu meyakinkan.

Kriteria di atas berlaku, dengan sendirinya, pada novel-novel konvensional yang juntrungnya jelas. Namun, bagaimana mengenai novel absurd, novel abstrak dan novel-novel semacam itu yang tidak konvensional? Dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada satu orang pun yang sanggup terbang. Namun, dalam novel absurd mungkin saja tokohnya dapat terbang. Tokoh ini, dengan demikian, untuk konsteks novel konvensional tidak life-like dan juga tidak credible, namun dalam konteks novel absurd, tokoh yang bisa terbang adalah life-like dan credible, sebab tolok ukurnya adalah absurdisme.

Lalu, bagaimanakah novel ini, setidaknya pada bagian awal? Abstrak. Dan karena abstrak, maka tolok ukurnya pun harus dunia abstrak.

Cobalah bayangkan: ada seorang laki-laki muda bernama Kodrat. Setiap berpapasan dengan siapa pun, pasti Kodrat memberi kesan yang amat mendalam. Karena itu, Kodrat merasa selalu diperhatikan, dan selalu diawasi.

Ayah Kodrat minggat, dan meninggalkan isterinya hidup sendirian bersama Kodrat, anak mereka. Namun ketika berhadapan dengan Jumhur, sekonyong Kodrat berpikir bahwa Jumhur tidak lain adalah ayahnya, dan Jumhur menganggap bahwa Kodrat bukan saja makhluk kurangajar, namun juga berbahaya.

Peristiwa demi peristiwa seolah berjalan sendiri-sendiri, tanpa juntrung, tanpa ikatan kesatuan tindakan dan kesatuan peristiwa (unity of actions and unity of events).

Apakah mungkin? Mungkin. Mengapa? Karena Kodrat, sebagaimana halnya tokoh-tokoh lain dalam novel ini, yaitu perempuan bernama Kenangan yang tidak lain adalah ibu Kodrat, Jauhhari yang tidak lain adalah ayah Kodrat, sahabat Kodrat bernama Bono, pacar Kodrat bernama Muara, jongos Kenangan bernama Rekoso, musuh Kodrat bernama Pamungkas, dan lain-lain, tidak dideskripsikan sebagai tokoh, namun lebih sebagai gagasan.

Karena mereka sebuah gagasan, maka bagaimana misalnya potongan tubuh Kodrat, bagaimana cara dia bergerak, berbicara, berpikir, seberapa jauh instinknya berbicara ketika dia mengadapi kemungkinan datangnya bahaya, ketajaman mata dia, sensasi penciuman dia, otot-otot rahasia dia ketika dia berhadapan dengan tokoh-tokoh lain, termasuk Muara, tidak digambarkan secara realis.

Ini berlaku untuk tokoh Kenangan yang tidak lain adalah seorang perangkai bunga yang sangat handal, dan, secara alamiah, kepandaiannya ini menurun kepada Kodrat. Bagaimana warna-warni bunga itu, apa bau yang memancar dari bunga itu, nuansa-nuansa apa yang tercipta antara udara, cuaca, warna bunga, dan bau bunga itu, juga tidak digambarkan secara nyata. Yang pasti, siapa pun mendapat kiriman bunga duka dari Kenangan pasti akan benar-benar berduka. Akan terjadi banjir airmata karena karangan bunganya.

Kodrat digambarkan mempunyai ciri, yaitu mempunyai tiga tahi lalat membentuk segitiga di wajah. Kodrat juga digambarkan sebagai ahli waris perangkai bunga yang handal, namun selalu gagal dalam merangkai bunga pernikahan. Barulah dia berhasil, setelah dia mengerjakannya dengan kasih sayang. Bahwa kegagalan itu akhirnya berkaitan dengan hidupnya sendiri, memang benar. Karena koma, mungkin untuk selamanya sampai meninggal, dia tidak akan mampu kawin dengan Muara. Namun, bagaimana mengenai cinta kasih? Muara memang kekasihnya, namun betapa dalam cintanya, apa ekspresi cintanya, bagaimana dia memelihara rasa cinta itu? Semua menjadi sangat imajinatif.

Lebih dari satu kali, sementara itu, Kenangan akan bunuh diri. Bagaimana pergolakan jiwanya sampai dia memutuskan untuk bunuh diri, bagaimana perasaannya ketika dia gagal? Yang tinggal dari usaha bunuh diri hanyalah ciri fisik. Lalu, apa makna ciri fisik itu terhadap keseluruhan plot, perkembangan jiwa dia sendiri, dan hubungan emosialnya dengan Kodrat? Pertanyaan-pertanyaan ini seakan sengaja dilontarkan untuk dijawab pembaca.

Inilah antara lain yang membuat novel ini abstrak: deskripsi verbal, desripsi sepintas seolah bukan untuk memancing indera dan imajinasi pembaca, bahasa non-emotive, dan sebagainya. Dengan adanya deskripsi dan bahasa seperti ini, maka dengan sengaja dunia novel berada di luar dunia pembaca. Karena itu, pembaca merasa berhadapan dengan dunia di luar dirinya, bukan dunia yang melibatkan dirinya ke dalam dunia novel ini. Andaikata gaya penceritaan disini dapat dianalogikan dengan gerak pesawat tempur, maka pesawat itu hanya melayang dan meliuk-liuk tanpa menyebar deru-deram yang menakutkan karena pesawat itu memang tengah melakukan unjuk kebolehan dengan berbagai manuver.

Apakah gaya penceritaan semacam ini dapat diterima? Tentu saja tergantung pada hakikat novelnya. Nampaknya, memang pengarangnya, F.X. Rudy Gunawan, sengaja memaparkan hampir semuanya dalam novel ini serba mengambang dan menjadikan novelnya bergerak dalam dunia imajinasi yang abstrak. Bukan dunia imajinasi yang terbentuk oleh peristiwa, tindakan, dan watak para tokoh yang konkrit.

Karena itu pula, maka nama para tokoh pun tidak diambil dari dunia sehari-hari, namun dari dunia yang sengaja diciptakan dalam pikiran sebagai sesuatu yang abstrak. Ayah Kodrat bernama Jauhhari, karena dulu, jauh hari ketika Kodrat masih sangat kecil, telah minggat, meninggalkan keluarganya. Mengapa ibu Kodrat bernama Kenangan, tidak lain karena dia selalu membawakan kenangan, alias membangkitkan kenangan. Pembantu Kenangan bernama Rekoso, nama dari bahasa Jawa dengan makna “berat beban hidupnya,” karena pada waktu masih di desa dulu dia pernah dilindas oleh kendaraan bermotor, disangka sudah mati, namun ternyata tetap hidup dengan beban yang berat. Lalu ada pula Pamungkas, tokoh misterius dengan tugas memusnahkan Kodrat. Makna “pamungkas,” tidak lain, adalah senjata untuk mematikan atau menghancurkan sesuatu sehingga sesuatu itu tidak mungkin bangkit kembali. Nama-nama lain juga memiliki makna sesuai dengan makna dan fungsi nama masing-masing.

Namun, kalau diikuti terus, ternyata novel ini ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa politik. Ada satu pihak tertentu yang dibabat habis oleh pihak lain, dan karena itu pihak yang dibabat habis berusaha dengan keras membalas dendam. Bahwa balas-dendam akhirnya bisa menimbulkan korban yang tidak tahu apa-apa, dalam kehidupan sehari-hari adalah biasa.

Sebagai novel yang menyangkut politik, maka peristiwa G-30-S/PKI pun ikut diangkat, meskipun spekulatif, tidak langsung, tidak konkrit, dan pula sepintas. Orang-orang PKI telah membantai musuh-musuhnya, dan karena itu musuh-musuhnya berusaha untuk membalas dendam. Bukan hanya itu. Ada pula kekerasan terhadap etnik tertentu, dan ada pula penyerbuan terhadap rumah hiburan oleh kelompok fanatik agama tertentu.

Peristiwa-peristiwa politik itu memang pernah ada, dan dalam banyak hal korbannya adalah justru mereka yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa, dan tidak terlibat dalam sebab-musabab permusuhan. Di sini, orang yang tidak tahu apa-apa itu adalah Kodrat.

Dari titik inilah, maka novel ini, di fihak lain, mudah diikuti. Terciptalah kemudian dramatic irony, yaitu, tokoh tidak tahu apa-apa, sedangkan pembaca tahu segala-segalanya. Segala sesuatu dalam novel ini, bagi pembaca, menjadi jelas bagi Kodrat, Kenangan, Bono, dan juga seseorang yang merasa mempunyai akses untuk memperoleh informasi, yaitu Muara.

Karena Kodrat adalah korban yang tidak tahu-menahu dengan akar permasalahan dendam, maka dia tidak tahu mengapa dia diteror lewat tilpun gelap, dipandang dengan mata curiga, disenggol dengan kasar pada waktu berpapasan dengan seseorang di disko. Kemunculan Pamungkas yang nanti akan berusaha untuk menghabisi nyawanya, dengan demikian, bagi Kodrat juga selalu menimbulkan pertanyaan. Kodrat juga tidak tahu mengapa ayahnya dulu minggat, dan kenapa, dalam keadaan koma, dia merasa ayahnya memberi ucapan selamat kepada dia karena dia akan segera mengakhiri hidupnya.

Dari sinilah pembaca sadar mengapa pada awal novel ini pembaca digiring untuk memasuki dunia abstrak yang tidak pernah menukik ke kehidupan yang nyata. Narator sengaja mengajak pembaca untuk melihat akar permasalahannya bukan dari kesadaran narator, namun dari ketidak-sadaran Kodrat. Jangan heran, dengan demikian, manakala Kodrat bernama Kodrat, karena dia diciptakan bukan untuk membentuk situasi, namun untuk mengikuti arus. Karena itu, pada waktu lahir pun dia tidak mempunyai kesempatan untuk lahir secara wajar, namun ketika ibunya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk melahirkan dia.

Kodrat memang sengaja diciptakan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, karena dia memang tidak tahu menahu seluk-beluk dendam yang akhirnya akan menimpa dirinya. Dengan demikian, ketika oleh narator dia “dibekali” dengan naluri tertentu, dia hanya menerimanya tanpa kemampuan untuk memahami. Ambillah contoh, misalnya, sikap dia terhadap politik, dan juga instinknya terhadap rangkaian bunga.

Ketidak-tahuan dan ketidak-tertarikan Kodrat mengenai politik, misalnya, diwakili oleh sikapnya yang tidak mau memilih pada waktu Pemilu. Dia suka Golput, semata karena di senang warna putih. Dan dia juga akan gelisah manakala pacarnya tidak berpakaian putih, sementara putih adalah kepanjangan netralitas dan ketidak-berpihakan.

Kodrat juga tidak tahu makna keterkaitan antara satu peristiwa dan peristiwa lain, antara lain karena dia tidak pernah terlibat dalam permusuhan politik atau ideologi. Dia hanya merasakan, bahwa segala sesuatunya mempunyai hubungan, seperti halnya perasaan dia ketika merangkai bunga. Nama, peristiwa, dan lain-lain pasti terkait satu sama lain, namun Kodrat tidak tahu masing-masing komponen yang terkait, dan apa serta bagaimana kaitannya.

Dia merasa bahwa segala sesuatu pasti berkaitan satu sama lain, namun, karena dia adalah makhluk yang hanya mampu diciptakan oleh keadaan dan tidak mampu menciptakan keadaan, maka dia tidak sanggup memaknai instinknya. Instink tetap instink, tanpa interpretasi dan aplikasi.

Kunci untuk mendedah misteri sebetulnya terletak pada Muara, pacar Kodrat. Muara adalah penyanyi café, dan karena itu sering bergaul dengan berbagai macam orang, tentunya dari “dunia gelap” atau “dunia remang-remang.” Datanglah ke café, dan pasti kita akan menemui orang-orang yang misterius, misalnya, bagaimana mungkin mereka dapat memiliki uang begitu banyak untuk mereka hambur-hamburkan, apa pekerjaan mereka, bagaimana kelakuan mereka yang sebenarnya, nama mereka sebenarnya, dan lain-lain. Dalam dunia café adalah biasa, misalnya, apabila sekian banyak orang memakai nama samaran yang dengan enaknya bisa berubah-ubah.

Itulah dunia yang dihadapi oleh Muara. Karena itu, dengan mudah dia sampai kepada kesimpulan: kerusuhan di café pada malam nahas itu memang sengaja diciptakan oleh orang-orang tertentu untuk menghabisi Kodrat. Kecurigaan dia benar, namun dia tidak akan mungkin membuktikannya. Karena dia gagal, maka novel ini pun memilih open-ending. “Apakah Kodrat dapat sembuh?” tanya Kenangan, dan dokter pun menjawab bahwa kemungkinannya fifty-fifty.

Novel berakhir dengan Kodrat dalam keadaan koma, tanpa dapat disimpulkan apakah dia akan hidup atau mati. Apa maknanya? Bahwa rahasia dendam politik dapat diduga dengan benar, dapat dirasakan akibatnya, namun secara hukum tidak mungkin dibuktikan.

Kehidupan kontemporer dapat diibaratkan dengan kehidupan di mall: ramai, banyak pemandangan, segalanya cepat berlalu, dan karena itu, apabila dimetaphorakan, kehidupan kontemporer pada hakikatnya bukan lukisan, namun sketsa. Kendati kehidupan di mall berbeda dengan kehidupan dalam dunia dugem, pada hakikatnya, kedua kehidupan itu ada kemiripannya: ada suasana ramai, banyak gerak, sementara orang demi orang tidak perlu diperhatikan dengan mendalam sampai mendetil, namun cukup sebagai siluet-siluet yang bergerak-gerak. Itulah suasana kehidupan kontemporer. Dan itulah yang dengan cerdik telah diangkat oleh F.X. Rudy Gunawan.

Bukan hanya itu. Kehidupan kontemporer di Indonesia benar-benar didominasi oleh politik, kendati mungkin dalam kehidupan sehari-hari tidak nampak. Begitu banyak anomali terjadi, baik anomali yang diperpolitikkan maupun anomali yang muncul karena politik, meskipun dalam kehidupan sehari-hari tidak nampak. Banyak tindakan yang nyata-nyata merupakan kejahatan, namun tidak dirasa sebagai kejahatan dan tidak mungkin dibuktikan sebagai kejahatan. Ini pulalah kehidupan yang diangkat dalam Koma.

Thursday, August 25, 2005


Mempertanyakan Takdir atau Kebetulan

Judul: 170.8 FM Radio Negeri Biru
Penulis: FX Rudy Gunawan
Penerbit: Gagas Media
Cetakan: I, Februari 2004
Tebal: viii + 275 halaman


NOVEL yang murung. Mungkin hal itu yang bisa menggambarkan isi dari buku ini. Kisahnya sendiri menceritakan hidup seorang debt collector bernama Hakiki. Perjalanan hidupnya yang penuh kebetulan menjadi pertanyaan besar bagi dirinya. Apakah takdir itu juga sebuah kebetulan belaka. Apakah akibat perkelahian, namun karena salah satu lawannya adalah anak pejabat tinggi telah membuatnya meringkuk di penjara selama sembilan bulan sebuah takdir atau sebuah kebetulan.
Takdir dan kebetulan, penjara dan kekerasan, rupanya menjadi alur yang terus berlangsung dari awal hingga berakhirnya kisah Hakiki dan Pak Agung Ridwan-pengamen tua di Kampung Rambutan yang biasa disebut AR. Riwayat AR yang dilukiskan sebagai salah satu korban kekerasan di Tebing Tinggi, Agustus 1965 hingga akhirnya lolos dari pembunuhan, dan akhirnya terdampar di Terminal Kampung Rambutan sebagai pengamen tua merupakan simbol penindasan dan kekerasan.
Pertemuan Hakiki dengan Dio, seorang penyiar yang hedonis, juga diawali dari acara yang dibawa Dio yang mengulas tentang kebahagiaan. Melalui hadiah voucher kebahagiaan, keabsurdan kebahagiaan dianggap sebagai "biang kerok" yang justru menjadi pemicu bertemunya tokoh-tokoh utama dalam sebuah acara on air di Radio JNKFM. Hakiki yang selalu meminta dipanggil "Hak", Dio yang mulai berubah dalam mencerna kehidupan, dan Pak AR yang menghilang atau sengaja dihilangkan setelah acara on air-nya ibarat cermin kehidupan yang serba kebetulan. Atau takdir masing-masing tokoh yang sudah demikian.
Secara keseluruhan ada kesan terburu-buru penulis dalam memberi roh di setiap tokoh maupun dalam alur cerita. Meskipun demikian, latar belakang sejarah Indonesia yang murung dibumbui dengan nilai-nilai humanis memang cukup memberi makna dengan yang dihadapi masyarakat Indonesia kontemporer. Harapan sebuah negeri biru-seperti yang diimpikan Putri dan Pak AR-yang penuh ketenangan adalah simbol impian masyarakat Indonesia yang bimbang dalam membedakan mana yang menjadi garis nasib atau takdir dan mana yang kebetulan. (Eki/Litbang Kompas)